Belajar dari Jari Kelingking



Tawadhu’ lahir dari proses kejujuran, keikhlasan, dan keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah SWT. Dan orang yang mempunyai sifat tawadhu’ deraratnya akan diangkat oleh Allah SWT.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

مَن تواضعَ للهِ رفعَهُ الله

Artinya: “Barangsiapa yang bertawadhu (rendah hati) karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Sifat tawadhu’ (rendah hati) adalah salah satu sifat yang terpuji. Tawadhu’ atau rendah hati, tidak untuk menjatuhkan harga diri, akan tetapi, merendahkan diri dalam hal pangkat di sisi manusia, dengan tujuan mengharapkan panggkat di sisi Allah SWT. Hal ini tergambar dalam pernyataan seorang sahabat Nabi, yaitu, Ibnu Mas’ud. Beliau menyatakan:

إن من التواضع الرضا بالدون من شرف المجالس

Artinya: “Sesungguhnya sebagian dari tawadlu (rendah hati) ialah rela berada ditempat yang rendah atau hina dari tempat-tempat perkumpulan yang mulia.”

Dalam kitab Al-Bajuri (Juz, 1 Hlm. 171) Syekh Ibrahim Al-Bajuri mengisahkan tentang terpujinya sifat tawadhu’ dikisahkan bahwasannya ketika Nabi Adam AS, oleh Allah SWT, diberi cincin, untuk dipakai disalah satu jarinya, sekita itu, jari-jemari Nabi Adam AS, berebutan untuk bisa memakai cincin tersebut. Terjadilah perdebatan yang sengit dan adu gagasan diantara mereka.

Ibu jari menyatakan, “Cincin itu saya yang lebih berhak memakainya, karena saya jari tunggal” Alasan Ibu jari karena ia lebih besar dan terpisah dari jari yang lainnya. Si telunjuk tidak tinggal diam ia tidak mau kalah dari si Ibu jari, ia menyatakan, “Tentu saya yang lebih hak karena saya dipakai untuk membaca tasybih”

Si telunjuk merasa bangga diri, karena ia dipakai membaca tasybih, sehingga ia digelari ‘AlMusabbahah’ dan telunjuk juga dipakai untuk memberi petunjuk sehingga ia juga digelari ‘AsSyahid’ dan juga ia digunakan untuk mencaci maki sehingga digelari ‘As-Sabbahah‘.

Jari tengah tidak mau kalah juga, ia menyatakan, “Saya yang lebih berhak memakai cincin itu, karena saya lebih panjang dari pada kalian semua” Jari manis juga tidak mau kalah untuk berebut cincin itu, ia menyatakan, “Saya yang lebih berhak dari kalian semua, karena saya adalah titik puncak dari kalian semua.”

Jari kelingking tidak ikut andil untuk berebut cincin itu, ia diam saja, ia merasa putus asa, dan lebih parahnya lagi ia merasa sakit karena terasingkan, ia sadar diri bahwa ia lebih kecil dari pada jari yang lainnya.

Karena merasa rendah dan terhina, ahirnya si jari kelingkinglah yang mendapat cincin itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Adam AS, untuk memakai cincin itu di kelingkingnya. Allah mengangkat derajat kelingking karena ketawaduannya, dan si jari kelingking memandang pada dirinya tidak mempunyai hak dan merasa tidak pantas untuk memakai cincin pemberian Allah itu.

Dan janganlah kalian berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kalian tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (Q.S. Al-Isra’: 37).

Orang yang tawaduk itu bukan ia yang ketika merendah (bersikap tawaduk) menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Tetapi, orang yang tawadhu’ adalah orang yang ketika merendah (tawaduk) menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.” (Hikam)

Suatu saat Abu Yazid al-Busthomi ditanya:” Kapan orang itu tawaduk?

Beliau menjawab:

اذا لم ير لنفسه مقاما ولا حالا, ولا يرى أن في الخلق من هو شر منه

“jika sudah tidak merasa ada kedudukan dan kemuliaan pada dirinya,dan dia tidak melihat makhluk (orang) lain itu lebih jelek/hina daripada dirinya.” (asy-Syaikh Hazim Abu Ghozalah, al-Durar al-Ghazaliyah syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 155/ hikam nomor 234).

Imam Dzun nun al-Mishriy mengatakan:

من اراد التواضع فليوجه نفسه الى عظمة الله تعالى, فانها تذوب و تصغر, و من نظر الى سلطان اللله تعالى ذهب عنه سلطان نفسه لأن النفوس كلها ذليلة عند هيبته

“Siapa yang menginginkan tawaduk maka hendaknya dia menghadapkan nafsunya kepada kebesaran Allah dan keagungan-Nya, dan nafsunya akan meleleh dan melemah/hina. Dan siapa yang melihat kekuasaan Allah, maka akan hilanglah kekuasaan nafsunya, karena segala macam nafsu begitu hina bila dihadapkan dengan keagungan Allah Swt” ( asy-Syaikh Hazim Abu Ghozalah, al-Durar al-Ghazaliyah syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 156/ hikam nomor 236)

Guru Zuhdi seorang ulama asal Kalimantan Selatan, pernah memberi nasehat  bagaimana   kita  sebagai seorang muslim  harus  selalu  rendah  hati  dan  menjauhkan  diri  dari  sifat  kesombongan. 

“Nasehat dari guru kehidupan, jika kamu sulit menangis saat ingat maksiat yang kamu perbuat, itu pertanda hatimu mulai sombong. Jika kita merasa hebat maka ketergantungan kita kepada Allah berkurang dan hal itu menjadikan benih kesombongan akan tumbuh subur di dalam hati.”

Kisah di atas, dapat kita petik hikmahnya, dan kita harus belajar dari si jari kelingking yang mempunyai sifat ridha’ dan tawadhu’. Karena sifat tawadhu’nya si jari kelingking oleh Allah SWT, diangkat derajatnya dan mendapatkan hadiah berupa cincin yang menjadi rebutan diantara jari-jari tangan lainnya.

Bahwa setiap kali berdoa, nyenyuwun apa saja sama Allah harus mengutamakan sikap rendah hati, tunduk-tawadhu, berserah-pasrah, ndherek kersane Gusti Allah. (La haula walaquwata ilabillaah).

Salam Sukses Mulia Berkah Melimpah


Comments